Demokrasi vs Oligarki: Mana yang Lebih Layak di Era Krisis & Disrupsi

-
Nama Penulis : Putri Tazqiro - Mahasiswa Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang

Beritasriwijaya.com, Palembang — Di era penuh gejolak—mulai dari ketidakpastian ekonomi global, krisis iklim, hingga disrupsi teknologi—perdebatan mengenai sistem politik yang paling relevan kembali mencuat. Di satu sisi, demokrasi masih diagungkan sebagai mekanisme yang memberi ruang partisipasi publik. Namun di sisi lain, oligarki terus merayap melalui pengaruh modal dan kekuasaan yang terkonsentrasi. Pertanyaan pun muncul: sistem mana yang benar-benar mampu bertahan dan menjaga kepentingan publik di tengah turbulensi zaman?


Demokrasi yang Terkepung Modal

Meskipun demokrasi modern menyediakan kanal partisipasi melalui pemilu, kebebasan berbicara, dan ruang deliberasi publik, realitas di lapangan menunjukkan wajah yang berbeda. Proses politik sering kali dikuasai elite yang memiliki sumber daya besar, sehingga kompetisi tidak berangkat dari titik yang setara. Kampanye membutuhkan biaya tinggi, akses media dipengaruhi kepentingan pemilik modal, dan opini publik kerap dibentuk oleh narasi yang sudah dikendalikan. Akibatnya, demokrasi terlihat berjalan, tetapi substansi kesetaraan justru makin menipis.

Bacaan Lainnya


Oligarki: Cepat Mengambil Keputusan, Lambat Mengakomodasi Publik

Oligarki kerap dipuji karena efektivitasnya: keputusan dapat dibuat cepat tanpa negosiasi panjang. Dalam situasi krisis, pendekatan ini terlihat menguntungkan. Namun keputusan yang minim partisipasi publik berisiko mengabaikan kebutuhan kelompok marjinal. Sistem yang bergantung pada segelintir elite juga rentan menumbuhkan ketidakpercayaan. Tanpa legitimasi sosial yang kuat, kebijakan mudah ditentang, dan ketegangan dapat meningkat terutama saat masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut hidup mereka.


Krisis Modern Menuntut Sistem Politik yang Fleksibel

Zaman disrupsi tidak hanya menguji ekonomi dan teknologi, tetapi juga mendesak lahirnya model politik yang adaptif, transparan, dan inklusif. Teknologi mempercepat arus informasi, tetapi juga membuka peluang manipulasi. Ekonomi menuntut efisiensi, namun masyarakat menuntut keadilan dan perlindungan. Dalam konteks ini, sistem politik harus mampu menyesuaikan diri secara cepat tanpa kehilangan legitimasi publik—sebuah tantangan besar bagi model pemerintahan apa pun.


Mengapa Demokrasi Masih Lebih Layak?

Meski penuh kelemahan, demokrasi memiliki satu keunggulan mendasar: kemampuan untuk dikritik dan dikoreksi. Ketika kesalahan terjadi, mekanisme demokrasi—mulai dari pemilu, pengawasan publik, hingga kebebasan pers—memberi peluang untuk memperbaiki arah kebijakan. Sementara oligarki mungkin terlihat stabil, sistem itu nyaris tidak menyediakan ruang koreksi dari luar. Tanpa partisipasi publik, kebijakan bisa melenceng jauh dari kebutuhan masyarakat.


Masa Depan: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Oligarki

Tantangan terbesar bukan memilih di antara dua sistem, tetapi menjaga demokrasi agar tidak dikuasai kepentingan oligarkis. Demokrasi hanya bisa bertahan apabila transparansi, keadilan politik, dan akses yang setara benar-benar ditegakkan. Jika tidak, demokrasi akan tinggal nama, sementara oligarki menjadi aktor utama yang menentukan arah negara. Pada titik itu, krisis bukan lagi ancaman terbesar—melainkan hilangnya suara publik dalam menentukan masa depan bangsanya sendiri.

Pos terkait