BERITASRIWIJAYA.COM, PALEMBANG — Dalam ranah filsafat, ontologi adalah cabang ilmu yang berfokus pada kajian tentang keberadaan, termasuk keberadaan manusia sebagai entitas yang unik di dunia ini. Ontologi tidak hanya membahas apa yang ada, tetapi juga hakikat keberadaan dan bagaimana manusia memahaminya. Dua pendekatan besar dalam ontologi adalah realisme dan idealisme. Realisme memandang dunia sebagai nyata dan independen dari persepsi manusia, sedangkan idealisme menganggap bahwa dunia adalah hasil dari kesadaran atau pemikiran manusia.
Keberadaan Manusia dalam Ontologi
Ontologi memandang manusia sebagai makhluk yang unik dengan kompleksitasnya. Hakikat manusia tidak hanya ditentukan oleh fisik, tetapi juga oleh kesadaran, moralitas, dan interaksi dengan lingkungan. Misalnya, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan alam, tetapi sering kali lalai dalam menjalankan tanggung jawab ini. Eksploitasi sumber daya yang berlebihan mencerminkan ketidakseimbangan dalam memahami hubungan manusia dengan alam.
Manfaat Kajian Ontologi tentang Manusia
Kajian filsafat manusia memberikan pemahaman mendalam tentang kompleksitas manusia. Meski tidak menawarkan jawaban mutlak, kajian ini mendorong refleksi kritis tentang siapa manusia sebenarnya dan bagaimana manusia memaknai keberadaannya. Dalam ontologi, terdapat dua pendekatan utama untuk memahami keberadaan manusia:
1. Esensi (Apa Itu Manusia?)
Pendekatan esensialisme menganggap bahwa manusia memiliki sifat tetap dan universal. Aristoteles, misalnya, mendefinisikan manusia sebagai animal rationale (makhluk berakal). Sifat bawaan seperti rasionalitas, moralitas, dan kemampuan memahami dunia menjadi dasar dari keberadaan manusia.
2. Eksistensi (Bagaimana Manusia Ada?)
Eksistensialisme, sebagaimana dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre, menekankan bahwa manusia pertama-tama “ada” dan kemudian menciptakan makna serta tujuan hidupnya melalui pilihan dan kebebasan. Pendekatan ini menyoroti tanggung jawab individu dalam menentukan arah hidupnya sendiri.
Kontribusi Pemikiran Filsuf Besar
René Descartes dengan ungkapannya “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) menegaskan kesadaran sebagai dasar keberadaan manusia. Sementara itu, Heidegger melalui konsep “Dasein” (berada di sini) menekankan pentingnya konteks ruang dan waktu dalam memahami eksistensi manusia. Sartre lebih jauh menyoroti kebebasan manusia untuk menciptakan makna hidupnya sendiri, menantang pandangan bahwa manusia memiliki esensi yang telah ditentukan.
Relevansi Ontologi di Era Modern
Di era digital, diskusi ontologi manusia semakin berkembang. Isu identitas, kesadaran, dan hubungan manusia dengan teknologi menjadi semakin relevan. Kemajuan teknologi memunculkan pertanyaan baru: Apakah keberadaan manusia tetap utuh di tengah intervensi teknologi? Filsafat ontologi memberikan lensa kritis untuk memahami bagaimana manusia tetap menjadi subjek di tengah dinamika ini.
Dimensi Sains dan Spiritualitas
Secara sains, keberadaan manusia dijelaskan melalui proses biologis dan genetik. Namun, banyak orang merasa bahwa aspek ini belum cukup menjelaskan makna hidup. Filsafat dan spiritualitas menawarkan perspektif lain, mendorong manusia untuk mencari tujuan yang lebih tinggi, sering kali terkait dengan moralitas dan nilai-nilai transendental.
Kesimpulan
Hakikat keberadaan manusia dalam filsafat ontologi adalah tema yang berlapis dan kompleks. Kajian ini membantu kita memahami posisi manusia dalam alam semesta, dari kesadaran individu hingga hubungan dengan dunia yang lebih luas. Dalam pencarian makna, filsafat ontologi terus menjadi panduan untuk memahami diri sendiri dan interaksi manusia dengan lingkungan.
Penulis : Teri anjani dan Syafiyah islamiyah ( Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Program Studi Jurnalistik)