Dominus Litis Picu Polemik: Rentan Penyalahgunaan Kekuasaan? Begini Tanggapan Praktisi Hukum

BERITA SRIWIJAYA, PALEMBANG – Rencana penerapan Dominus Litis dalam revisi KUHAP pada 2026 mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan di Sumatera Selatan. Kewenangan besar yang diberikan kepada kejaksaan ini dinilai berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Akademisi Komunikasi Politik dan Manajemen Isu, Ade Indra Chaniago, menegaskan bahwa pemberian kewenangan lebih kepada kejaksaan justru bisa memperburuk sistem hukum yang sudah rentan penyimpangan.

“Seharusnya tidak perlu eksplisit lagi menyatakan bahwa ini tidak layak. Kekuasaan yang ada saja sudah banyak disalahgunakan, apalagi jika diberikan lebih. Saya tidak bisa membayangkan dampaknya ke depan. Sistem sebagus apa pun akan percuma jika mentalitas penegak hukumnya masih seperti sekarang. Ini sama sekali tidak layak diterapkan,” tegas Ade dalam wawancara di RM H. Amir, Selasa (25/02/2025).

Ia menambahkan bahwa dalam perspektif keadilan, Dominus Litis berisiko menciptakan lembaga superbody yang kebal hukum dan membuka celah intervensi politik terhadap kebijakan publik.

Ketua DPW Masyarakat Sadar Korupsi, Mukri As, juga mengkritisi konsep ini. Menurutnya, Dominus Litis perlu dikaji secara akademis dari aspek hukum, politik, filsafat, dan sosiologi sebelum diterapkan.

“Ini konsep yang cenderung menimbulkan kewenangan berlebihan. Saya pribadi kurang sepakat, karena ini bisa memberi celah bagi orang besar bermain politik hukum. Tujuan hukum harus dijaga agar tidak disalahgunakan,” ujar Mukri.

Praktisi hukum dan anggota organisasi advokat, DR. Fahmi, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, Dominus Litis bisa saja diterapkan asalkan ada naskah akademik yang kuat dan norma hukumnya sudah dikodifikasi dengan baik.

“Layak atau tidaknya tergantung bagaimana sistem ini diatur. Jika norma dan asasnya belum jelas, maka belum bisa dikatakan layak. Negara juga perlu membentuk badan penyidikan yang lebih terpusat agar tidak terjadi politisasi hukum,” jelas Fahmi.

Sementara itu, Ketua DPD Aliansi Indonesia Sumsel, Syamsudin, menegaskan bahwa sebelum diterapkan, perlu ada kesepakatan antara lembaga penegak hukum agar tidak menimbulkan kegaduhan.

“Jika ingin diterapkan, harus ada konsensus bersama antara lembaga hukum di Indonesia. Jangan sampai ini malah menimbulkan kekacauan hukum,” tandasnya. (#)

Pos terkait