Menjelang Agustusan, Pemilik Bidar di Palembang Kebut Perbaikan Perahu Demi Lestarikan Tradisi

Perahu bidar milik tim Bidar Tatang Putra sedang dalam tahap perbaikan di Lorong PMI, Palembang, menjelang Festival Bidar Tradisional 15 Agustus 2025.

PALEMBANG, Beritasriwijaya.com – Menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80, Kota Palembang kembali bersiap menggelar ajang kebanggaan warga yakni Festival Bidar Tradisional. Kegiatan tahunan yang digelar pada 15 hingga 17 Agustus 2025 ini bakal diramaikan dengan semangat kolaborasi dan semarak budaya, termasuk oleh para pemilik perahu bidar yang kini tengah sibuk memperbaiki armada mereka.

Salah satunya adalah Ncik Muhammad Alaudin Sakagarhan, pria yang akrab disapa Jaka. Bersama timnya, ia tampak tengah berjibaku merampungkan proses perbaikan dua unit perahu bidar miliknya di kawasan Lorong PMI, Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Perahu-perahu itu rencananya akan diturunkan dalam festival sebagai bagian dari tim Bidar Tatang Putra.

Bacaan Lainnya

“Persiapan kami sudah sekitar 65 persen. Sekarang tinggal proses pendempulan dan pengecatan. Kami sudah mulai perbaikan sejak sebulan lalu,” ujar Jaka saat ditemui pada Rabu, 6 Agustus 2025.

Tradisi, Biaya Besar, dan Semangat yang Tak Luntur

Perahu bidar yang dimiliki Jaka memiliki panjang mencapai 31 meter, dengan kapasitas hingga 57 orang. Dalam satu perahu, akan ada 55 pendayung, 1 juragan atau pimpinan tim, dan 1 orang tukang timbo yang bertugas membuang air dari dalam perahu saat lomba berlangsung.

“Untuk satu perahu, bahan bakunya dari kayu pilihan seperti Merawan, Meranti, Bungur, dan Rengas yang kami cari hingga ke Muara Enim dan Lahat karena panjang kayu di Palembang tak mencukupi,” jelasnya.

Proses pembuatan perahu ini memakan waktu 1,5 hingga 2 bulan dengan melibatkan 4 pekerja, belum termasuk waktu untuk mencari bahan baku. Jaka menyebut bahwa biaya perawatan dan pembuatan perahu bidar bisa mencapai puluhan juta rupiah.

“Perahu ini harus kuat, karena digunakan untuk lomba dengan beban penuh. Bahannya ringan tapi kuat, dan itu butuh perawatan rutin tiap tahun,” sambungnya.

Doa dan Syukuran Jadi Bagian Persiapan

Menjelang lomba, Jaka dan timnya juga menggelar tradisi doa bersama sebagai bentuk harapan dan permohonan keselamatan. Tradisi ini dilakukan dengan pembacaan Yasin, menyiram bunga ke badan perahu, dan makan bersama para pendayung serta warga sekitar.

“Bukan ritual khusus, tapi kebiasaan yang kami jaga dari orang tua dulu. Ini bentuk rasa syukur kami dan harapan agar semua berjalan lancar tanpa musibah,” ungkap Jaka.

Meski tantangan makin besar, semangatnya untuk tetap menjaga warisan budaya Palembang itu tak pernah surut. Ia bahkan mengungkapkan bahwa dirinya kini menjadi satu-satunya pembuat perahu bidar tradisional yang tersisa di kota ini.

Harapan Dukungan Pemerintah

Sebelum pandemi, Jaka sempat mendapat bantuan dari pemerintah daerah sebesar Rp4–5 juta per perahu untuk biaya perawatan. Namun, bantuan itu kini sudah tidak lagi ia terima.

“Kami harap pemerintah kembali mendukung perajin lokal seperti kami. Jangan sampai budaya ini punah. Sekarang tinggal kami saja yang buat bidar di Palembang, lainnya sudah pesan dari luar daerah,” harapnya.

Festival Bidar Tradisional tak hanya menjadi simbol perayaan kemerdekaan, tapi juga lambang semangat gotong royong dan pelestarian budaya yang masih hidup di tengah masyarakat.(EmaTan)

Pos terkait