Tambang untuk Siapa? Menyingkap Ironi Kekayaan Alam di Bawah Cengkeraman Kekuasaan

Palembang, Beritasriwijaya.com — Indonesia, negeri yang dijuluki “zamrud khatulistiwa”, bukan hanya kaya akan keindahan alam dan budaya, tetapi juga menyimpan kekayaan sumber daya mineral yang luar biasa. Dari emas di Papua, nikel di Sulawesi, hingga batu bara di Kalimantan, kekayaan tambang ini semestinya menjadi anugerah besar bagi bangsa. Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan kenyataan pahit: di atas kekayaan tambang yang berlimpah, rakyat tetap miskin, lingkungan rusak, dan konflik tak kunjung padam.

Pertanyaannya pun mencuat tajam: tambang ini untuk siapa? Apakah benar tambang dikelola untuk kesejahteraan rakyat, atau hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pemilik modal?

Kekayaan yang Mengalir, Tapi Tidak ke Rakyat

Mari kita mulai dari Papua, rumah bagi salah satu tambang emas terbesar di dunia: PT Freeport Indonesia. Selama puluhan tahun, gunung-gunung di Papua dikeruk, menghasilkan emas dan tembaga dalam jumlah fantastis. Royalti dan pajak memang mengalir ke kas negara, namun masyarakat lokal di Mimika, Timika, dan sekitarnya tetap terjerat dalam kemiskinan struktural. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan air bersih masih jauh dari layak.

Lebih menyedihkan lagi, konflik sosial dan kekerasan yang terjadi di sekitar area tambang seringkali tak bisa dilepaskan dari keberadaan korporasi besar dan kebijakan negara yang tidak berpihak. Masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam selama ratusan tahun, kini justru terpinggirkan oleh roda industri yang berjalan tanpa empati.

Jargon “Green Mining” yang Hampa Makna

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “eco green” atau “green mining” semakin sering digaungkan oleh pelaku industri tambang. Secara teoritis, konsep ini menjanjikan pertambangan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat—mulai dari reklamasi lahan pasca tambang, pengelolaan limbah, hingga perlindungan biodiversitas.

Namun kenyataannya jauh dari harapan. Di Kalimantan Timur, misalnya, lubang-lubang bekas tambang batu bara menganga dan dibiarkan tanpa reklamasi. Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), terdapat lebih dari 3.000 lubang tambang yang terbengkalai, dan setidaknya 40 anak telah meninggal karena tenggelam di dalamnya. Ini bukan hanya kegagalan kebijakan, tapi juga tragedi kemanusiaan yang berulang.

Di sinilah letak ironi terbesar: ketika perusahaan menikmati keuntungan triliunan rupiah, rakyat lokal justru menerima luka ekologis yang diwariskan lintas generasi.

Pertambangan: Dari Ekonomi ke Politik Kuasa

Tambang bukan semata soal ekonomi. Ia telah berubah menjadi instrumen kekuasaan dan alat transaksi politik. Izin Usaha Pertambangan (IUP) kerap diberikan bukan berdasarkan kebutuhan rakyat atau kelayakan lingkungan, tetapi sebagai “barter” politik demi memperkuat cengkeraman kuasa segelintir elit.

Keterlibatan pengusaha tambang dalam dunia politik semakin memperkuat dominasi korporasi atas sumber daya. Banyak dari mereka menduduki posisi strategis di pemerintahan atau menjadi “penyandang dana” dalam pemilu. Akibatnya, pengawasan terhadap pelanggaran tambang tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah—rakyat kecil justru kerap dikriminalisasi saat memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan hidup mereka.

Mengubah Arah, Mengembalikan Tambang ke Tangan Rakyat

Sudah saatnya Indonesia melakukan koreksi besar terhadap tata kelola pertambangan nasional. Tambang tidak boleh lagi menjadi simbol ketimpangan dan ketidakadilan. Tambang harus menjadi alat pemerataan kesejahteraan dan perlindungan lingkungan. Untuk itu, beberapa langkah mendesak perlu segera dilakukan:

  1. Transparansi Penuh terhadap semua pendapatan negara dari sektor tambang, termasuk royalti, pajak, dan kontribusi lainnya.
  2. Partisipasi aktif Masyarakat Lokal dalam proses perizinan, perencanaan, dan pengawasan tambang di wilayah mereka.
  3. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu terhadap perusahaan yang terbukti merusak lingkungan atau melanggar hak masyarakat adat.
  4. Audit dan Evaluasi Ulang terhadap seluruh IUP, khususnya yang bermasalah atau tidak aktif.
  5. Implementasi Nyata Prinsip Green Mining, dengan indikator yang jelas dan terukur, bukan sekadar jargon dalam laporan CSR.

Tambang Bukan Milik Pejabat, Tapi Milik Bangsa

Tambang adalah warisan alam yang seharusnya dikelola demi masa depan generasi bangsa, bukan dikuasai untuk akumulasi kekayaan segelintir orang. Jika tambang terus dikelola hanya untuk melayani kepentingan elite, maka kita sedang menuju bentuk baru dari penjajahan: penjajahan atas sumber daya, atas kehidupan rakyat, dan atas hak masa depan anak cucu kita.

Sudah waktunya kita bertanya, dengan lantang dan tegas: tambang ini untuk siapa?

Penulis: Dharma Bhatoen / Mhs UIN Raden Fatah

 

Pos terkait