Trend S Line Makin Menjangkit di Medsos, Ciptakan Dampak yang Mengerikan!

Netizen dan pengguna media sosial, khususnya generasi muda, diimbau untuk kritis terhadap tren semacam ini. Penting untuk memahami bahwa mempertontonkan hal-hal yang bersifat pribadi bukanlah bentuk kebebasan, melainkan jebakan konsumsi digital yang merusak.. ilustrasi tren garis merah di kepala (Sumber gambar: Endar Julian)

Palembang, Beritasriwijaya.com  — Media sosial kembali diramaikan oleh tren baru yang kontroversial: S Line. Istilah ini merujuk pada garis atau lekukan tubuh yang membentuk huruf “S”, namun kini makin bergeser ke arah yang lebih vulgar dan mengkhawatirkan. Tren ini mengarah pada “garis seks” (sex line), yakni bagian tubuh yang dianggap sensual dan tabu, lalu dipertontonkan secara gamblang demi konten, likes dan validasi publik.

Awalnya, S Line dikenal sebagai simbol estetika tubuh ideal di Korea Selatan, menggambarkan postur ramping dan proporsional dari bahu ke pinggul. Namun, tren ini mengalami pergeseran makna di tangan para konten kreator media sosial. Kini, S Line kerap digunakan untuk menyorot bagian tubuh yang sensitif, bahkan memperlihatkan aib dan area privat demi sensasi visual.

Fenomena ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar psikologi dan pendidikan.

“Kita sedang melihat bagaimana batas antara ekspresi diri dan eksploitasi diri makin kabur. Banyak remaja dan dewasa muda yang termakan tren ini tanpa sadar mereka sedang menjual privasi dan martabatnya sendiri,” ujar dr. Nirmala Syafira, psikolog klinis.

Lebih jauh, konten S Line seringkali dibalut dalam gaya yang seolah-olah ‘estetik’ dan ‘artistik’, padahal muatannya menjurus ke pornografi terselubung. Hal ini menjadi celah terbuka bagi penyimpangan digital, pemicu kecanduan pornografi, hingga pelecehan daring (online harassment).

Tak hanya merusak citra diri, tren ini juga berpotensi membentuk standar tubuh yang tidak realistis. Banyak pengguna merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi fisik tertentu, hingga berujung pada gangguan kesehatan mental seperti body dysmorphia, depresi dan gangguan makan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun mulai menyoroti tren ini.

“Kami mengimbau masyarakat untuk lebih bijak menggunakan media sosial dan tidak ikut menyebarkan konten yang mengeksploitasi tubuh secara berlebihan. Privasi bukan untuk diperjualbelikan,” ujar perwakilan Kominfo.

(Unk)

Pos terkait