Palembang, Beritasriwijaya.com — Aplikasi Michat, yang awalnya dikenal sebagai platform komunikasi sosial, kini menjadi sorotan publik setelah munculnya dugaan bahwa aplikasi tersebut digunakan untuk praktik prostitusi daring, khususnya yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) online. Praktik ini, yang memanfaatkan kemudahan berkomunikasi melalui aplikasi, telah mulai mengubah pola pikir sebagian kalangan, termasuk di kalangan mahasiswa.
Fenomena ini tidak hanya berfokus pada sisi hukum, tetapi juga berdampak pada pola pikir dan perilaku mahasiswa, yang seharusnya berada pada tahap pembentukan karakter dan nilai-nilai moral yang kuat. Mengingat mahasiswa merupakan generasi muda yang berperan penting dalam pembangunan bangsa, pengaruh aplikasi seperti Michat terhadap mereka perlu dikaji lebih dalam.
Pola Pikir Mahasiswa Terkait Seksualitas dan Nilai Moral
Beberapa ahli psikologi dan sosiologi menyatakan bahwa penggunaan aplikasi Michat untuk tujuan prostitusi daring dapat memengaruhi mahasiswa dalam memahami konsep seksualitas, hubungan antarpribadi, dan norma-norma sosial. Secara tidak langsung, aplikasi ini memperkenalkan mahasiswa pada budaya yang lebih permisif terhadap transaksi seksual, mengaburkan batasan antara hubungan yang sehat dan eksploitasi.
Menurut Dr. Anita Rahmawati, seorang psikolog sosial, “Mahasiswa yang terpapar praktik seperti ini cenderung menganggap seksualitas sebagai transaksi semata tanpa mempertimbangkan aspek emosional dan moral yang seharusnya melekat dalam hubungan antarmanusia.” Hal ini bisa mengarah pada pengurangan rasa empati dan penghormatan terhadap diri sendiri serta orang lain.
Efek Psikologis dan Sosial
Dampak lain dari penggunaan aplikasi Michat dalam konteks prostitusi daring adalah munculnya perasaan depersonalisasi dan disorientasi sosial pada mahasiswa. Dalam beberapa kasus, mereka bisa kehilangan pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan dan merasa semakin terasing dalam berinteraksi dengan orang lain. “Pola pikir yang terbentuk adalah menganggap transaksi seksual sebagai hal yang wajar dan tidak memerlukan komitmen atau tanggung jawab emosional,” ujar Dr. Rahmawati.
Mahasiswa yang terlibat dalam dunia prostitusi daring juga berisiko mengalami gangguan psikologis, seperti kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). Hal ini terjadi karena mereka tidak hanya terpapar pada tindakan eksploitasi, tetapi juga terjebak dalam hubungan yang penuh dengan penipuan, manipulasi, dan ketidakpastian.
Pendidikan dan Penyuluhan sebagai Solusi
Untuk mengatasi dampak negatif ini, perlu ada langkah-langkah preventif yang melibatkan dunia pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Kampus-kampus di Indonesia, khususnya, perlu menggencarkan program edukasi yang mengajarkan pentingnya kesadaran moral, etika, serta dampak dari penyalahgunaan teknologi, seperti aplikasi Michat.
Sosiolog pendidikan, Prof. Dr. Hendra Suryadi, mengatakan, “Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral harus diperkenalkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun kampus. Mahasiswa perlu dibekali dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang seksualitas, hubungan yang sehat, serta dampak buruk dari transaksi seksual daring.”
Penggunaan aplikasi Michat yang terkait dengan prostitusi daring membawa dampak signifikan terhadap pola pikir mahasiswa, terutama dalam hal pemahaman terhadap seksualitas dan hubungan sosial. Untuk itu, pendidikan moral dan penyuluhan yang komprehensif sangat diperlukan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan, serta mencegah mahasiswa terjerumus dalam pola pikir yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya batasan dalam hubungan sosial dan seksualitas dapat membantu mahasiswa untuk lebih bijak dalam menggunakan teknologi dan aplikasi sosial.