Birokrasi Mandek di Sumatera Selatan: Mengapa Pelayanan Publik di Ogan Ilir Masih Berjalan Lamban pada 2025?

Aktivitas pelayanan publik di salah satu kantor pemerintahan di Ogan Ilir, tampak warga menunggu antrean sambil petugas menangani proses administrasi. Foto/Ist
Nama Penulis : Chelsea Kirani - Mahasiswa Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang

Beritasriwijaya.com, Ogan Ilir — Memasuki tahun 2025, berbagai keluhan mengenai lambannya pelayanan publik di Kabupaten Ogan Ilir semakin mencuat. Meski pemerintah daerah mengklaim terus mendorong reformasi birokrasi dan digitalisasi layanan, warga menilai perubahan yang dijanjikan hanya tampak di permukaan tanpa memberikan dampak nyata dalam proses pelayanan sehari-hari.


Digitalisasi Belum Matang dan Sistem Pelayanan Tidak Sinkron

Salah satu masalah terbesar yang dirasakan warga Ogan Ilir adalah penerapan digitalisasi layanan yang masih jauh dari optimal. Meski sejumlah layanan telah dialihkan ke aplikasi daring, kenyataannya sistem tersebut masih sering mengalami gangguan, data antarinstansi tidak terhubung, dan banyak pegawai belum memahami mekanisme digital yang seharusnya digunakan.

Bacaan Lainnya

Akibatnya, masyarakat tetap harus mendatangi kantor pemerintahan untuk mengecek status layanan, bahkan mengulang proses yang sebenarnya bisa dilakukan secara daring. Ketidaksiapan infrastruktur membuat digitalisasi justru menciptakan tumpang tindih antara prosedur manual dan online tanpa koordinasi yang jelas.


Budaya Kerja Lama Membayangi Kinerja Aparatur

Selain persoalan teknis, persoalan budaya birokrasi turut menghambat pelayanan publik. Banyak warga mengeluhkan sikap aparatur yang kurang responsif, disiplin kerja yang rendah, hingga ketidakkonsistenan petugas dalam memberikan informasi.

Tidak jarang ditemukan pegawai yang belum berada di ruang pelayanan saat jam kerja dimulai atau meninggalkan meja tanpa pemberitahuan, membuat antrean warga semakin mengular. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi belum menyentuh aspek perubahan etika kerja yang menjadi inti dari kualitas layanan publik.


Prosedur Tidak Jelas, Celah Pungli dan Percaloan Masih Terbuka

Minimnya keterbukaan informasi membuat alur pelayanan di berbagai instansi tidak seragam dan membingungkan masyarakat. Prosedur yang tidak ditampilkan secara terbuka sering kali membuka peluang bagi oknum tertentu memanfaatkan situasi.

Sejumlah warga menyebut masih menemukan praktik pungutan liar dan percaloan yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat terkait syarat dan alur pelayanan. Kondisi ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal serta kurangnya komitmen dalam menegakkan standar pelayanan yang transparan dan berkeadilan.


Koordinasi Lintas Instansi Lemah, Warga Terpaksa Bolak-Balik Mengurus Berkas

Banyak proses layanan publik di Ogan Ilir yang menuntut verifikasi dari beberapa instansi, namun minimnya integrasi membuat warga harus mendatangi kantor yang berbeda-beda hanya untuk satu keperluan. Hal ini tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga biaya.

Fragmentasi birokrasi, di mana tiap unit bekerja sendiri tanpa sinergi menyebabkan layanan menjadi lambat, berbelit, dan jauh dari prinsip efisiensi. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa reformasi birokrasi belum diaplikasikan secara nyata di lapangan.


Inovasi Banyak Diluncurkan, Namun Lebih Bersifat Simbolis

Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir memang mencanangkan beberapa inovasi pelayanan seperti aplikasi pengaduan, layanan terpadu, dan zona integritas. Namun bagi masyarakat, program tersebut lebih terlihat sebagai kegiatan seremoni.

Masyarakat menilai perhatian pemerintah lebih tertuju pada peluncuran aplikasi, pemasangan baliho, dan deklarasi formal, dibanding memperbaiki akar persoalan seperti kompetensi aparatur, konsistensi sistem, integrasi layanan, serta kedisiplinan pegawai dalam memberikan pelayanan.


Dampak: Kepercayaan Publik Menurun

Lambannya pelayanan publik tidak hanya berdampak pada proses administrasi, tetapi juga menggerus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Jika reformasi tidak dilakukan secara menyeluruh—mulai dari peningkatan kualitas SDM, penguatan sistem digital, hingga perubahan budaya kerja maka stagnasi birokrasi akan terus terjadi dan masyarakat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.

Pos terkait