Dikutip dari laman perjalanan sejarah Cirebon Sebuah bendera yang disimpan Indra Ratna Esti Handayani (60), warga Jalan Pagongan, Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Kota Cirebon, menjadi saksi bisu perjalanan pascakemerdekaan di Cirebon. Bendera itu dikibarkan pertama kali di Cirebon setelah Bendera Pusaka Merah Putih dikibarkan di Jakarta.
Bendera yang disimpan Esti dimungkinkan menjadi bendera tertua di Cirebon. Sehari setelah Bendera Pusaka Merah Putih dikibarkan seusai pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, bendera yang disimpan Esti menyusul dikibarkan di Cirebon pada 18 Agustus 1945.
Bendera tertua di Cirebon milik Esti dijahit sang ibu, Olly Siti Soekini atau dikenal pula Olly Sastra (12 Januari 1925-16 Oktober 1994). Berbahan kain satin, bendera berukuran 160×120 cm itu kini tersimpan bersama naskah dan foto-foto lama.
Akibat termakan usia, bendera itu sekarang dalam keadaan rapuh dengan warna tak secerah dulu. Sobekan dan lubang-lubang hangus bekas terbakar pun mengusangkan kondisinya.
Esti berkisah, kabar kemerdekaan bangsa Indonesia dari kolonialisme asing disiarkan melalui radio ke seluruh pelosok negeri. Di Kota Cirebon, kabar itu sampailah ke telinga Olly pada 18 Agustus 1945.
Olly sendiri diketahui merupakan Ketua Umum Angkatan Muda Tjirebon yang tergolong dekat dengan Presiden pertama RI, Soekarno. Setelah mendengar kabar bangsanya terbebas dari penjajahan asing, Olly langsung menjahit sebuah bendera merah putih.
Sore hari setelah mendengar kabar menggembirakan itu, tepatnya pukul 16.00 WIB pada 18 Agustus 1945, Olly bersama rekan-rekannya mengibarkan bendera yang telah dijahitnya di halaman Gedung Djawa Hookookai di Jalan Pekalipan Nomor 106, Kota Cirebon. “Ibu saya sebelumnya menurunkan bendera Jepang yang dikibarkan di halaman gedung itu. Dengan semangat, ibu saya memggantinya dengan bendera merah putih hasil jahitannya,” tutur Esti.
Aksi Olly dan rekan-rekannya sempat mendapat perlawanan dari seorang tentara Jepang bernama Tanaka. Pria itu menurunkan dan membakar bendera jahitan Olly, seraya meyakinkan Indonesia belumlah merdeka.
Namun, menurut Esti, Olly bersikukuh Indonesia telah merdeka. Tanaka kembali menyanggah dengan menambahkan, kemerdekaan itu hadiah dari pemerintah Jepang.
Tanpa memedulikan kata-kata Tanaka, Olly berupaya menyelamatkan bendera yang hampir terbakar. Tindakannya beroleh perlawanan fisik dari tentara Jepang, sebelum kemudian dilerai Ketua Barisan Pelopor, RM Ronggo.
Meski sempat dibakar hingga membuat lubang di beberapa titik dan nyaris hangus, bendera yang dijahit Olly tetap bisa diselamatkan sebelum kemudian dikibarkan pertama kali di Kota Cirebon. Pengibaran bendera itu menandai penegasan Indonesia telah merdeka.
Tak lama setelah pengibaran bendera, Olly mentransformasi Gedung Djawa Hookookai menjadi Panti Pendidikan Anak-Anak (PPA) yang dikhususkan bagi anak-anak korban perang dan tak mampu dengan cuma-cuma. Sayang, bangunan itu kini telah berubah menjadi pertokoan.
“Ibu saya menginginkan bendera ini dikibarkan di halaman eks Gedung Djawa Hookookai atau PPA di Jalan Pekalipan. Tapi, karena gedung itu sudah berubah menjadi pertokoan, bendera ini disimpan saja di rumah,” ungkapnya.
Bendera bersejarah itu kini hanya dikibarkan setiap 17 Agustus saja. Bertiang bambu dan ditempatkan sudut rumah Esti yang difungsikan pula sebagai Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) dan TUK Tata Boga ‘Esti Handayani’, Esti mengupayakan pengibarannya tak membuat bendera itu semakin rusak atau bahkan hilang.
Olly sendiri wafat pada usia 69 tahun dan dikebumikan di pemakaman Pronggol, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Menurut Esty, sang ibu tak ingin dimakamkan di taman makam pahlawan (TMP).
“Ibu saya bilang, pahlawan tak harus dimakamkan di TMP. Yang penting, beliau sudah berusaha membela tanah air,” cetus Esti. Lebih jauh, dia mengharapkan bendera tertua di Kota Cirebon jahitan ibunya itu kelak akan berarti bagi generasi penerus bangsa.