PALEMBANG, Beritasriwijaya.com — Di balik permukaan tenang Sungai Musi, tersimpan dunia lain yang jarang tersorot publik. Di kedalaman antara 15 hingga 30 meter, sejumlah penyelam tradisional mempertaruhkan nyawa demi mencari peninggalan sejarah dan barang-barang antik yang terkubur lumpur. Salah satunya adalah Riko, penyelam asal Palembang yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari dasar sungai legendaris itu.
“Kalau arus deras, kami tidak bekerja. Kami lihat dulu kondisi air. Kalau tenang, baru mulai — bisa siang, bisa malam,” ujar Riko saat ditemui di tepian Sungai Musi, di sela-sela istirahat penyelaman.
Pekerjaan itu dilakukan berkelompok, dengan modal swadaya. “Kalau perahu kami, modalnya sekitar Rp350 ribu. Itu sudah termasuk makan dan BBM,” katanya. Hasil pencarian nanti dibagi rata, termasuk untuk menutup biaya operasional.
Namun, hasil penyelaman tak pernah bisa ditebak. Kadang mereka hanya mendapatkan serbuk emas, kadang piring atau mangkuk tua. “Pernah ada yang dapat mangkuk besar di sekitar Jembatan Musi 2, laku sampai Rp700 juta,” kisah Riko.
Ia sendiri mengaku pernah menjual cangkir antik seharga Rp400 juta, meski bukan dari penyelaman di Palembang. Barang itu dijual langsung ke kolektor.
Risiko dan Harapan di Dasar Sungai
Dengan kedalaman puluhan meter dan arus yang sering berubah, penyelaman di Sungai Musi bukan pekerjaan ringan. “Keselamatan itu nomor dua. Yang penting keluarga bisa makan,” ucap Riko lirih.
Selain harus menghadapi derasnya arus, para penyelam juga kerap terganggu oleh kapal pengangkut batu bara yang melintas di sungai. Namun pekerjaan itu tetap mereka jalankan, dari kawasan Jembatan Musi VI hingga Pusri, bergantung pada kondisi arus dan peluang temuan.
Penyelaman dilakukan berdasarkan pengalaman dan penelusuran, bukan peta atau panduan ilmiah. “Kami cuma mengandalkan intuisi dan cerita orang-orang tua,” ujarnya.
Antara Kolektor dan Pemerintah
Para penyelam mengaku kerap menghadapi dilema: menyerahkan temuan bersejarah kepada pemerintah atau menjualnya langsung ke kolektor. Sebagian besar memilih jalur kedua.
“Sudah banyak yang menyerahkan barang ke pemerintah, tapi apresiasinya kecil. Jadi sekarang kami tidak heboh-heboh lagi,” kata Riko.
Fenomena ini menjadi cerminan kompleksnya hubungan antara masyarakat lokal dan pelestarian warisan budaya. Sungai Musi diyakini menyimpan banyak peninggalan Kerajaan Sriwijaya, namun upaya pelestarian sering berbenturan dengan realitas ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Sungai Musi: Nadi Sejarah dan Penghidupan
Sungai Musi bukan hanya saksi peradaban kuno, tetapi juga sumber kehidupan bagi banyak warga Palembang. Bagi Riko dan kawan-kawannya, dasar sungai bukan sekadar tempat sejarah bersemayam, tetapi tempat mereka bertahan hidup.
“Bagi kami, ini bukan soal harta karun. Ini soal bertahan hidup,” tutup Riko sambil menatap arus Musi yang bergulung pelan di bawah langit senja. (ydp)









