PALEMBANG, Beritasriwijaya.com — Ribuan mahasiswa BEM se-Sumsel turun ke jalan, mengepung simpang lima DPRD Sumatera Selatan dengan tuntutan keras: copot Kapolri, reformasi total Polri, sahkan RUU Perampasan Aset, hentikan RUU KUHAP, dan tolak kenaikan tunjangan DPR RI.
Gedung rakyat dipagari kawat berduri, aparat berjaga penuh, namun suara mahasiswa menembus segala benteng.
Di tengah krisis kepercayaan publik, mahasiswa kembali membuktikan diri sebagai barisan terdepan suara rakyat. Ironisnya, untuk menyambut aspirasi itu, negara justru mengurung gedung DPRD dengan pagar kawat berduri, seolah rakyat sendiri adalah ancaman.
Namun, pagar kawat tak mampu membungkam nalar. Ketua DPRD Sumsel akhirnya tunduk pada tekanan moral mahasiswa, menyatakan dukungan penuh dan berjanji menyampaikan aspirasi ke pusat. Pernyataan itu memang disambut tepuk tangan, tetapi sesungguhnya baru langkah awal: mahasiswa menunggu bukti, bukan janji.
Empat tuntutan itu bukan perkara sepele. Copot Kapolri adalah simbol ketidakpercayaan atas aparat yang mestinya melindungi rakyat, bukan mengintimidasi. RUU Perampasan Aset adalah senjata melawan para perampok uang negara yang selama ini berlindung di balik hukum. Penolakan RUU KUHAP adalah alarm agar negara tidak melegalkan pembungkaman. Sementara penolakan kenaikan tunjangan DPR RI adalah jeritan rakyat miskin yang muak melihat wakilnya hidup mewah di atas penderitaan mereka.
Aksi ini jelas menjadi cambuk. Jika pemerintah pusat masih tuli, gelombang mahasiswa bisa berubah menjadi badai. Sejarah pernah mencatat, suara mahasiswa mampu mengguncang rezim. Hari ini, peringatan itu kembali menggema: jangan remehkan suara jalanan, karena di sanalah nurani rakyat masih hidup.
Massa aksi dari Aliansi Mahasiswa Sumsel membubarkan diri mulai pukul 16.00 WIB dalam suasana yang berlangsung kondusif, tertib, dan berakhir tanpa insiden berarti.